Sabtu, 31 Januari 2015

Origami Uyo

Origami Uyo
Cerpen by Adisa Prafitri

“Uyoooo…masih kuraaang Hahahah”

Aku tersentak kaku. Dalam angan yang melayang jauh. Meskipun raga masih enggan beranjak ke dimensi lain namun khayalan telah jauh melesat menembus ruang waktu. Ruang dimana waktu telah memberi arti dan memberi akhir yang hanya mampu dijabarkan oleh airmata dan hati. “Elegi”

“Uyo….ayo buatin lagi, masih kurang banyak nih burung-burungnya. Tuh origaminya ya.. Naya masih butuh 200 lagi nih”

“Waduh!!!” mulut Uyo membulat. Matanya serasa keluar, dan tangannya yang tengah melipat-lipat kertas origami mematung saat itu juga.
“Hahahahahaha” Aku tertawa ngakak.

        Dimensi itu adalah senandung yang sangat aku rindu ketika akhirnya aku hanya bisa mematung di bawah air hujan, dan ditemani dengan beberapa lembar origami yang mulai basah diguyurnya. Hingga akhirnya menjadi bubur-bubur kertas dan terbawa oleh aliran air. Uyoo…maafin Naya ya.

“Yo…itu udah berapa? Istirahat dulu deh yu” Aku kemudian meletakan lembaran kertas warna-warni itu. Ku tarik lelaki yang lemah dan lembut itu untuk berdiri. Dan mengajaknya keluar dari ruang tamu.

“Uyoo…auss laperrrL” Aku kemudian menatapnya sambil pasang muka cemberut.

“Yaaaa makan sonohh!” Uyo berkata dengan ciri khas huruf S nya yang terdengar selalu dibuat lebay. “Syonohh”.

“Ahh..beliin yooo.. Naya nasi padang sama jus jambu yaaaa” Aku pasang nyengir kuda. Dan kemudian ia pergi, kemudian beberapa saat kembali lagi membawa pesananku. “Makasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Uyoooooooo”

        Uyo. Itu dia dahulu sahabatku. Bahkan mungkin lebih dari itu, bahkan seperti kaka, tapi kadang seperti adik, kadang juga seperti Ibu. Dia jarang terlihat seperti Bapak. Karena perangainya yang sungguh seperti keibuan. Padahal ia lelaki. Hahahah. Terkadang aku memanggilnya Emak Uyo. Aku senang memanggilnya Uyo, padahal nama sesungguhnya ialah Andra T. Sutiyoso. Dia baik sangat baik.

        Uyo yang sering mengantarku pulang saat aku tidak ada yang mengantar. Uyo juga selalu mau apabila aku menyuruhnya untuk mengantarku kemana saja. Dan Uyo, selalu menuruti apa saja keinginanku. Salah satunya adalah origami ini, dia rela menghabiskan waktunya 3 hari untuk membuat burung-burung dari origami yang aku inginkan. Dan aku selalu menggodanya. “Uyooo…masih kurang. Hahaha”

        Dan kenangan itu akhirnya menyeruak lagi. Dan seketika itu pula, tubuhku langsung terselimuti oleh perasaan itu. Perasaan yang terus menerus memecah keheningan di dalam otakku. Dan mengedarkannya ke seluruh sistem dalam tubuhku. Hingga aku tersentak kaku. Aku menyesal!

“LO KALO NGOMONG YANG BENER!!!! SEKARANG GUE TANYA SEKALI LAGI. KENAPA LO NGELAKUIN ITU SAMA NAYA?!!! SAHABAT LO SENDIRI!!!”
“Sorry Ren dengerin gue dulu, Iya gue minta maaf tapi Gw ga ada niat buat ngelakuin itu, jadi waktu itu kan guee….”

“BEG!!!” Rendi menonjok bagian pelipis kanan Uyo. “BANYAK BACOT GAK JELAS LO!! UDAH ABISIN AJA”

Hingga semua naik pitam, Gama, Wildan, Zian, dan ke 5 teman cowoku lainnya langsung menyerbu dan membabi buta menghabisi Uyo.
Aku hanya mampu menangis di dalam bahu Hanna. Aku tak menyangka.

Aku jadi teringat kamar, disana ada sekitar 500 burung origami yang telah di buatnya untukku. Yang kini aku jadikan gantungan-gantungan lucu di atas langit-langit kamarku, dan juga tirai hording untuk jendelaku. Dan masih sisa 200 origami yang berisi cerita-cerita kita berdua, yang aku masukan dalam kantung plastik warna hitam. Uyo memang baik sangat baik. Hingga aku berfikir, entah makhluk apa yang telah merasukinya dan membuatnya seperti itu.

“Kenapa?? Kenapa Lo gitu. Gue gapeduli dan gakpernah mau ungkit masalah ini lagi, tapi gue gak bisa terima kenyataan kalo ternyata pelakunya tuh lo. Lo busuk!” Aku mencacinya dalam isak tangis, tak kuat melihatnya berlumuran darah dan entah masih sadar atau tidak. Namun setengah mati aku sangat membencinya saat itu.
“Ma..aff Nay… Maaf!” Dia masih berusaha untuk mejawabku. Meski dengan terbata-bata. Aku sadar tatapannya telah jauh menerawang menuju tepat di manic mataku. Tersirat raut penyesalan di wajahnya yang merah oleh darah. Dan aku menyadari telah jatuh butiran air bening, yang kemudian mengaliri lukanya. Dia menangis.

        Hujan turun semakin deras rupanya. Mungkin langit juga mengerti. Ia tak hentinya berkabut kelabu, tak ada tanda-tanda datangnya awan putih disana. Aku masih menunduk memandangi lembaran-lembaran origamiku yang satu-persatu terbawa arus menjadi bubur-bubur kertas. Origami Uyo.

“Yo…Hape sama Laptop Naya ilang!!!”

“Ya..ampun Nay? Emang Naya taro mana sih? Haduh  kenapa ditinggal sih? Berarti udah diambil ibu-ibu kantin Nay, atau anak yang lain. Aduuuhhh, cepeetan Nayy…badan Uyo gaenak banget sakiiitttt.. Nayy, udah ya Uyo pulang duluan ya, sakiit banget Nay. Sakiiit!!”       

Andra T. Sutiyoso. Dengan segala keluguannya dan segala bentuk lembutnya membuatku tak pernah memandangnya seperti sosok lelaki lain yang harus dijaga jaraknya. Aku melihatnya seperti yang aku telah bilang sebelumnya. Dia lucu, lugu, baik, dan lebay, apalagi kalau bicara dengan huruf S yang dibuat seperti Syy, haha dan dia menyangiku seperti aku menyayanginya, namun dia melakukan itu entah karena apa alasanya benar real, atau manifestasinya belaka.

“Maafff..Nay, Ibu sakit. Uyo gak punya uang buat beli obat. Maaf”

Namun ternyata semua hanya manifestasi yang dibuatnya, Rendi tak habis-habisnya memukuli sampai akhirnya dia benar-benar menceritakan apa yang sebenarnya. Dan dia pasrah. Dia membuka segalanya. Dan itu semua membuat seketika jantungku berhenti berdegup, ia melakukan semua itu, karena saat itu.. “Ia sakau dan butuh obat!!!”

        Basah… Entah karena air mata atau hujan. Intinya menimbulkan satu fakta yang sama. Khayalanku akhirnya kembali ke dimensi yang nyata. Dimensi sebenarnya yang sekian tadi masih ditinggali oleh raga. Aku menatap diriku sendiri. Kemudian menatap tanganku.

        Dua tangan yang kini sudah mulai meronta meminta kehangatan oleh panas mentari. Ia mengeriput. Karena sedari tadi telanjang dan terus diguyur butiran air yang sangat deras. Namun, aku malah menginginkan tangan ini lenyap dari tubuhku. Atau mungkin tubuhku juga. Hilang..agar semua perasaan menyesal ini juga hilang..

 “Nayaaa!!! Lo gila!!! Lo gak pernah salah!! Dia yang salah! Biarin aja orang kaya gitu, biarin dia pergi Nay..Lo harusnya bersyukur dipisahin sama temen yang udah jahat dan pecandu narkoba berat kaya gitu, dan lo jangan kaya gini…” Hanna memeluku. Tangis kami berdua pecah. Elegi…..

        Iya…kini sudah terhitung lebih dari 100 origami terbuang sia-sia olehku, dibawa oleh aliran air hujan. Hahhh, aku masih setia dimandikannya. Padahal tubuhku sudah meronta ingin menyelesaikannya. Biarlah, hujan ini melumuri segala perasaan itu. Perasaan menyesal yang kini jadi bayang keduaku.

“Pernahkah lo ngerasa, bahwa tangan-tangan yang udah menghancurkan tubuhnya itu tangan lo sendiri, lo yang gerakin, meskipun lo gak ngelakuin itu. Itu yang gue rasa, Hann..”

        Masih ada 100 lagi, burung origami yang ada dalam plastik kresek warna hitam. Namun kini hujan hanya tinggal sisa. Gemericiknya tak terdengar gaduh lagi. Mungkin sudah pergi, entah kemana. Sama seperti Uyo, pergi entah kemana. Dimensinya sudah tak mampu dijelaskan dalam fakta nyata. Dunianya juga. Tapi, Uyo baik..sangat baik. Hingga, tak seharusnya satu kesalahan fatal seketika menghapus semua kebaikan yang pernah menyeruak keluar. Aku tau. Aku salah. Dan menyesal.

“Nay..nih Nay. Burung-burung origami ke 437 selesai. Uyo cape ah….Eh, Nay. Nih dengerin uyo. Liat origami ini. Naya harus kaya dia. Dia cerah, berwarna-warni. Meskipun dilipet-lipet kaya apa aja, dia tetep kuat dan gak robek. Gak kaya kertas. Karena dia tau…nantinya dia akan menjadi bentuk yang baru yang lebih indah. Naya juga harus gitu yaJ

        Akhirnya dia datang. Bergerombolan menyeruak masuk dan berbaris rapi diatas langit. Awan putih itu kemudian membawa sekumpulan cahaya yang selalu dinanti sehabis hujan. Pelangi. Warnanya beragam, sama seperti origami. Satu yang aku pelajari, pelangi itu selalu setia menunggu hujan reda…Aku juga akan setia. Menunggu saatnya dimensiku bertemu dengan dimensinya. Kapan yaa…entah mungkin nanti.

Aku berdiri dan berjalan gontai menuju entah kemana. Tubuhku telah lepek dan basah. Sama seperti Bumi. Sisa origami dalam plastik kresek hitam itu kutinggal ditempat dudukku tadi. Biar saja nanti ia terbang, dan menyampaikan isi dari setiap cerita dalam goresan-goresan tinta di tubuh putih belakangnya. Untuk dia disana. Yang telah membuat burung-burung origami ini. Semoga ia berada dalam tempat terindah disisiNya….


“Uyoooo….masihh kurang!!! Hahaha”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar