Rabu, 17 Juni 2015

Berkah Pertama. Tapi...

Hari ini, aroma makanan warteg pinggir jalan tercium lebih menyengat dari biasanya.

Hari ini, bau mulut lebih meledak dari biasanya.

Hari ini, harum tubuhmu tak tercium seperti biasanya.

Hari ini, besok, dan seterusnya hingga akhir ramadhan, semoga semua kembali seperti biasanya.

Semalam, kamu terlihat lebih feminim dari biasanya. Ketika mukenah menutupi tubuhmu dan kamu melangkah ke mushola terdekat. Merubah pikiranku untuk berjalan menuju masjid yang jauh. Aku hilang kesadaran bahwa aku telah berdosa karena membatalkan niatku ke masjid untuk melangkah lebih jauh dan mendapat pahala lebih banyak, tapi aku malah mengejarmu. Aku hanya berpikir jika aku mengikutimu maka kita akan berada ditempat yang sama, semakin dekat, berdoa bersama, walaupun aku berada di beberapa shaf didepanmu dan bukan sebagai imam. Aku hanya bisa membayangkan aku akan berada diposisi itu.

Kita tak bertegur sapa saat bertemu, tapi aku lihat jelas sorot matamu menatap kearahku. Atau mungkin kamu hanya melihat baju koko yang ku kenakan lebih rapi, karena kamu ingat dulu aku hanyalah anak kucel yang kamu kenal. Terserah dengan semua yang ada dipikiranmu sekarang, aku hanya berharap kita berada dalam satu doa yang sama dan saling mendoakan agar kita saling dipertemukan walau kita selalu saling menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Rasanya begitu sempurna, ketika kamu pergi lalu kembali lagi. Kamu layaknya hidangan makanan dibulan ramadhan. Datang saat Sahur, menghilang, dan bertemu lagi saat Magrib. Kalaupun bertemu kita disiang hari kitapun tak saling bertegur sapa, aku pasti tak menikmati untuk memandangimu karena harus menahan nafsuku. Kamu layaknya hidangan sahur, ku nikmati untuk melepas dahaga rindu. Kamu juga layaknya hidangan berbuka, selalu ada rasa manis disaat kita jumpa. Dan kamu layaknya takjil, belum membuatku puas akan keberadaanmu saja.

Sekarang tinggal seberapa tahan aku menunggu. Menunggu saat berbuka puasa dan juga menunggumu tak bersamanya. Bedanya, menunggu berbuka puasa memberiku pahala sedangkan menunggumu memberiku cinta. Cobaannya, aku bisa menahan hawa nafsu untuk berpuasa tapi aku tak bisa menahan hawa nafsu kamu bersamanya.

Aku mengingat kembali bahwa aku dulu pernah menyia-nyiakan kesempatan yang pernah kamu berikan. Memang tak ada kesempatan kedua, tapi ada kesempatan lain. :)


Selasa, 26 Mei 2015

Batin Yang Berjuang


Apa yang kalian rasakan ketika menunggu orang yang kalian tunggu lama-lama ternyata hadirnya hanya sebentar, kemudian hilang gitu aja? Rasanya kayak lo ngumpulin duit untuk beli barang yang lu pengen selama berbulan-bulan, pas barangnya udah kebeli tiba-tiba hilang. Nyesek kan? Masih mending kalo kehilangan barang, suatu saat pasti bisa kebeli barang yang sama juga, produknya, warnanya. Kalo yang hilang seseorang? Ngumpulin perasaan selama berbulan-bulan, pas udah ada kesempatan tiba-tiba hilang. Apa suatu saat bakal dapetin orang yang sama juga? Rambutnya, matanya, sikapnya, pasti kemungkinannya kecil kan untuk dapat hal yang sama dari seseorang?

“Yaudah sih, emang belum jodoh kali..”

Trus kalo belum jodoh dibiarin pergi gitu aja? Ilang gitu aja? Gamau dicari lagi? Siap nyari yang baru lagi diantara milyaran manusia di dunia ini? Kan belom tentu sama lagi kayak sebelumnya, apalagi harus mulai dari nol lagi, emang petugas pom bensin harus ngulang dari nol.

Kalo gua udah pdkt lama-lama terus ditinggalin sih gua nganggepnya posisi gua bukan lagi diPHPin, tapi posisi gua adalah kalah saing dan tergangantikan sama orang lain. Nyesek yaa? Namanya juga hidup.

Hidup itu dijalanin, dinikmatin walau terus-terusan disakitin.

“Yang lu cari apa sih? Kenapa harus dipertahanin?”

Nggak ada. Namanya juga perjuangan, ini perjuangan yang baru “perjuangan double power”, dia bakal dateng disaat kita udah merasa kehilangan. Kalaupun masih ada gua pun gak akan nulis ini. Gatau kenapa gua kok masih mau aja berjuang. Padahal gua udah mutusin untuk berhenti berjuang total lho, ibaratnya udah ngerelain lah. Tapi ketika gua tau ada orang lain disisinya, sekarang gua ngerasa kayak mati konyol didalam peperangan orang lain, seakan gua terbangkit untuk memulai perjuangan lagi untuk orang yang sama. Bodoh ya?

“Gimana dia tau kalo lu gak punya tindakan?”

Gua bertindak kok. Gua punya cara sendiri untuk bertindak dan semoga tindakan gua tepat. Iyasih, gua gak pernah belajar dari tindakan yang hasilnya selalu salah. Sampe ada yang pernah bilang “lu sih put kalo nasihat orang bisa dewasa tapi giliran ngadepin masalah lo sendiri malah kayak anak kecil”.  Yaudahlah, intinya gua udah berusaha, walaupun gagal.

“Lu mau mulai darimana?”

Hmm.. gua mau memulai dari celah kekosongan yang ada aja. Celah kekosongan yang gak dimiliki sama yang dia punya sekarang. Misal: kulkasnya kosong, gua coba isi pake harapan. Eh, gak gini juga sih-__-

“Menurut lu sampai kapan dia ngasih harapan?”

Mungkin sampai gua berhenti berharap.


*untuk orang yang gua maksud dalam tulisan ini:

Kembalilah, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu. Sebelum ada orang lain masuk dan menutupnya, cepat kembalilah. Jika kamu pilih orang terbaik adalah dia, itu pilihanmu. Jika kamu menyesal pada akhirnya, jangan salahkan aku.


Selamat malam, perempuan yang telah membuang banyak waktuku :*

Selasa, 05 Mei 2015

Kamu dan Waktu

Kali ini aku sadar, sibuk memikirkanmu hanya membuang banyak waktuku. Detik-detik yang ku punya kamu buang sia-sia. Menit-menit yang amat berarti berakhir meninggalkan luka di hati. Jam-jam yang panjang hanya peluang untukmu mendadak menghilang. Kini yg tersisa hanya hari-hari melelahkan, menunggumu mengembalikan waktu yang telah kamu tinggalkan.

Sabtu, 04 April 2015

Seorang Penanti

Aku hanya ingin melihat sosok sepasang hati bergembira. Namun, hatiku sendiri remuk dihadapan mereka. Aku hanya ingin menjadi kuat dihadapannya. Namun, hatiku sendiri melawan egoku. Aku hanya ingin mengambil alih hatinya. Namun, aku tak terlihat dihadapannya. Aku hanya ingin menuntaskan semuanya. Namun, kelakuanku hanya melipat gandakannya.

Aku ingin berteriak sekerasnya tentang kecemburuan dihadapanku. Dihadapan mereka yang tak mengerti besarnya retak dan goresan dipikiranku, pikiran yang selalu melantunkan kata-kata kebencian. Namun, mulut ini tak mampu melampiaskannya. Bertaruh kepada diri sendiri sebagai seorang penanti yang tabah. Hanya mampu menanti tanpa harapan, menunggu tanpa kepastian, menantang ego yang rapuh, bertahan dari nasihat yang pedih. Dimana semua pilihan bertujuan agar aku seharusnya meninggalkannya.

Pikiranku menyeruak tak tahan ingin keluar dari zona ini. Berbisik dipikiranku pertanyaan tentang kebodohan diriku sendiri, sampai kapan aku menunggunya? Bagaimana jika penantian ini tak berbuah apa-apa? Lantas apa yang aku lakukan selanjutnya? Menelusuri hati yang sama dengan sebelumnya? Atau masih bertahan dengan ego?

Semua pertanyaanku sendiri tak sanggup ku jawab dengan akurat, karena setiap waktu jawabannya pasti berubah. Semua jawaban dipikiranku hanyalah jawaban dari ego yang bodoh, tanpa berpikir untuk menjawab secara bijaksana. Sebijaksana saat sejuknya hatiku melihatnya lewat bola mataku.

Kadang dirinya hadir dalam waktu yang tak aku sangka. Hebatnya, saat dia hadir aku mendadak bijaksana. Bodohnya, aku lupa bahwa disaat itu juga aku seharusnya menjawab pertanyaan dipikiranku sembelumnya selagiku bijaksana dihadapannya. Aku hanya ingin menjawab dengan cara mengugkapkan langsung dihadapanya. Namun, tak ku sangka melihatnya membuatku lupa akan segalanya. Bahkan sampai aku lupa tujuan awalku: aku ingin semua perasaanku dapat dirasakan olehnya. Dan aku ingin egoku bebas dari setiap perasaan yang selalu menghantuiku tentangnya.



Sebab, aku lelah sebagai seorang penanti.

Rabu, 04 Maret 2015

Bayangan


Aku ingin berkata jujur, aku bosan. Aku bosan mengikutimu terus. Karena peranku kini amat tak berarti dalam hidupmu: sebagai sesuatu yang mengikuti dibelakangmu. Cobalah menjadi diriku, rasanya nggak enak.

Aku hanyalah bayangan gelap dibelakangmu saat ada cahaya terang didepanmu. Aku tak bisa berkata apa-apa, hanya mampu berharap dalam hati agar kamu menoleh kebelakang dan melirik kearahku. Disitulah aku.

Aku tau bahwa cahaya yang sangat terang kini ada didepanmu. Tapi apakah kamu tega meninggalkanku sendirian sebagai bayangan gelapmu? Sungguh, aku takut kegelapan. Aku ingin kamu membawaku kepada cahaya itu juga, walau cahaya itu yang berhak memilikimu. Aku ingin terus bersamamu meskipun kamu semakin dekat dengan cahaya itu. Karena aku tau, semakin terang cahaya yang kamu hampiri akan semakin jelas bayanganmu terlihat. Disitulah caraku mengambil perhatianmu.

Aku tau, bayangan adalah peran yang sangat membosankan untukku. Dia hanya berwarna hitam, gelap, tak berwarna. Oleh sebab itu, kamu sendirilah yang mewarnai bayanganmu saat ini. Hidupku lebih berwarna karenamu. Lebih berwarna ketika kamu mencoba mewarnainya dengan senyuman yang tulus kamu berikan kepadaku. Itu bagaikan heroin untukku, untukku yang selalu butuh akan senyumanmu. Sayang, apa yang sekarang aku butuhkan ini tak ada bandarnya. Sehingga itu mengharuskanku mendapatkannya sendiri agar aku terus bisa melayang sebagai sebuah bayangan.

Senyum itu memang sederhana kamu berikan untukku tapi senyum itu luar biasa bagiku. Beda cara orang menikmati sesuatu. Aku adalah salah satu penikmat senyummu. Atau aku memang hanya satu-satunya penikmat senyummu.


Semenjak tulisan ini diketik, sejenak menghilangkan rasa bosanku terhadapmu. Sebab aku berpikir, aku hanya perlu menunggu waktu memberikan kesempatan padaku. Karena nanti, akan ada masanya ketika cahaya berada dibelakangmu dan bayangan terlihat jelas dihadapanmu..

JARAK

Aku berada didekatmu untuk waktu yang cukup lama. Aku memang sangat pengecut untuk bisa menghampirimu disana. Semakin lama kamu semakin jauh dari pandanganku, dan aku semakin sulit melihatmu dengan jelas. Aku punya cara lain agar dapat terus memandangmu, aku membuka lock layar hape dan membuka kamera kemudian di-zoom ke arahmu. Sekarang aku bisa melihatmu dengan jelas lagi, beruntung aku memiliki hape dengan kamera bagus. Takdir masih berpihak sedikit untukku agar bisa terus memandangmu dari sini, tanpa menyentuhmu.

Sungguh sebenarnya aku bukanlah pengecut yang mencoba berani menyentuhmu.



Sebab, disana ada kekasihmu.

Selasa, 24 Februari 2015

Harapan Dari Potongan Chat

Hari ini gue bangun pagi. Kabar baik.

Akhir-akhir ini banyak kebiasaan yang gue lakukan sebagai manusia normal. Chat terakhir dari seseorang yang membuat gue melakukan ini semua. Membuat gue masih mencari tahu kenapa chat ini berhenti berbalas dalam sebuah obrolan yang tidak terlalu penting.

“Flashback itu hal menakutkan jika yang dibayangkan adalah bayangan indah yang telah hilang dan tak memungkinkan untuk hadir lagi dikehidupan kita, sampai akhirnya bayangan itu hanya menghantui. –Putrauma” (Bodo amat!).

“Dulu, alasan kamu suka chattan sama aku hanya sebatas kamu kesepian aja sampai akhirnya chat dari aku adalah sebuah kebutuhan untuk kamu. kamu tiba-tiba nge-PING!!! pas aku lagi belajar disekolah, pas banget yang ngajar guru killer, bahkan sampai kamu voicenote tapi aku gak nanggepin. Dibalik itu aku sebenernya memperlakukan kamu kok. Buktinya ketika bel istirahat sekolah berbunyi temen-temen aku yang lain langsung berlarian ke arah kantin sedangkan aku sempetin waktu buat dengerin voicenote kamu dulu di kelas sebelum jajan ke kantin. Aku sampe minjem headset lho sama temen aku dengan alasan pengen denger lagu, padahal aku mau dengerin voicenote kamu. Aku gak bisa terlalu jujur untuk ngasih tau kalo aku pengen dengerin voicenote dari kamu. Aku mengganggap kamu adalah sebuah privasi.” Kata-kata ini dimaksudkan agar orang yang gue maksud tau kenyataan sebenarnya. (itu pun kalo dia baca tulisan ini)


Seandainya dia baca, gue sengaja nulis ini:

Tau gak akhir-akhir hal apa aja yang aku lakuin?

Gak tau ya? Iyasih ini salah aku soalnya aku gak ngasih tau kamu. Aku kasih tau deh...

Akhir ini tuh aku hanya ngecek chat lama kita terus baca lagi dari paling atas sambil berharap ketika aku mendekati chat paling terakhir kamu nge-chat aku lagi dan menyambung setiap chat kita yang terputus diakhir. Dengan syarat, harus dengan hal lain kamu nge-chat aku, yaitu kamu nge-chat aku tanpa status. Alasan aku gak nge-chat duluan udah tau kan? Status itu lho yang bikin aku risih.

Cukup.


Kita pernah berlomba-lomba untuk saling mengucapkan “Selamat pagi!”. Walaupun kadang salah satu dari kita pernah sama sekali gak ada yang ngucapin duluan karena sama-sama bangun kesiangan kemudian buru-buru berangkat ke sekolah sampai tanpa sadar hp kita masing-masing ketinggalan dan gak ada yang ngasih kabar. Yang masih gue pikirkan, Apakah orang tua kita masing-masing nge-cek hp yang ketinggalan itu? Sampai akhirnya terjadi chatting antara para orang tua (atau... Calon Mertua). Dan secara diam-diam para orang tua kita masing-masing merestui kita via chatting. Maybe..

Padahal awalnya itu adalah obrolan yang gak penting, tapi seru aja gitu. Sayang, semua jadi gak sama lagi secara begitu aja. Bahkan ini cuma jadi kisah yang klimaksnya biasa aja pada akhirnya.

Berharap, “Put, percuma lo kelamaan nunggu pasti pada akhirnya lo bakalan nyari yang baru!” bisikan yang mencoba menghasut gue agar memikirkan segalanya untuk merubah pikiran gue supaya mencari yang baru. Bodo amat.

Kangen.

Kangen..

Kangen...

Kangen....

KANGEN!!!

Karena biasanya kita chattingan sampai malam, begadang, lupa makan, hingga lupa waktunya tidur. Sekarang aku hanya menunggu kamu nge-chat aku lagi. Aku menunggu hingga bosan, lelah, ngantuk, akhirnya tidur lelap. Tidur tanpa mimpi tiba-tiba terbangun dipagi hari. Setidaknya ada hikmah dibalik akhir kisah kita: aku jadi terbiasa untuk selalu bangun dipagi hari dan selalu ingat kapan waktunya tidur.


Terima kasih :)

Kamis, 12 Februari 2015

Penantian Buta di Lafoten

Cerpen by Putrauma

“Alvin, maukah kau ikut denganku menangkap ikan Cod?”

            Januari di Lafoten, dimana ikan Cod bermigrasi dari Laut Barents menuju ke selatan, Lafoten. Namun Alvin selalu menolak ajakan pamannya untuk ikut menangkap ikan Cod bersamanya.

“Mengapa kau selalu menolak ajakanku?”

“Ada yang sedang aku tunggu, Neal.”

            Entah, apa yang Alvin nantikan. Hanya duduk di kursi panjang yang tak jauh dari rumahnya, berdiam diri tanpa kepastian. Tanpa menghitung setiap menit dan detiknya ia telah duduk disitu.

Di daerah yang disebut “An Arctic Paradise” dengan keindahan alam layaknya surga. Namun, tak mampu menbendungi perasaan seseorang untuk merasa kesepian, sendirian, dan menanti. Walau elang diatas cakrawala mencoba menghiburnya. Atau mungkin hanya menunggu bangkainya ketika ia mati.

Hanya berdiam diri seakan perasaannya berbicara dengan alam sekitar. Merubah posisi duduk mungkin satu-satunya hal yang dilakukannya selain berdiam diri. Dan satu-satunya hal yang dilakukan oleh orang yang menanti seseorang tanpa kepastian: jatuh cinta.

Ia sudah terlanjur menolak ajakan pamannya untuk menangkap ikan Cod bersamanya dan dia lebih memilih untuk menanti seseorang tanpa kepastian. Pilihan ini dipilihnya karena suatu alasan tertentu. Dia buta. Bahkan jika dia menerima ajakan pamannya, dia sendiri tak mampu melihat ikan Cod yang akan ditangkapnya. Dia juga lebih untuk menanti cinta yang juga buta: cinta yang memang buta karena cinta tak memiliki mata.

Yang sedang ditunggunya adalah Natalie. Inisial namanya pun ada di kalung yang dipakai oleh Alvin, “N” berarti Natalie. Ialah perempuan yang berani menerima Alvin dengan kondisinya sekarang. Tinggal dengan pamannya berdua serasa kurang lengkap tanpa kesehariannya ditemani oleh Natalie. Walaupun ia tak pernah melihat wajahnya. Hanya mampu merasakannya.

“Lepaskan tongkatmu, Alvin,” Kata Natalie sambil menurunkan tongkat Alvin “Biarkanlah aku menggandeng tanganmu untuk menuntunmu.”

Sulit untuk menjadi orang buta yang tak mampu untuk melihat keindahan di sekitarnya, seperti Lafoten dan.. Natalie.

“Keindahan yang sebenarnya bukanlah keindahan yang selalu hanya dilihat dari mata, Alvin. Keindahan itu akan lebih sempurna bila kita bisa merasakannya, bukan melihatnya,” Kata Natalie sambil memegang tangan Alvin untuk menyentuh wajahnya “..Seperti Kau.”

Siapa lagi orang yang mampu mengisi hari-hari Alvin selain Natalie. Masa lalu cerahnya dengan pandangan mata yang gelap kini menjadi benar-benar gelap. Natalie menghilang. Kabar burung berkata bahwa Laut telah menghayutkannya. Memang tak mungkin perempuan yang bersahabat dengan laut justru terbunuh oleh laut. Alvin tak ingin mengingat ini.

“Sampai kapan aku duduk disini?!” keluh Alvin sambil menarik kalung dari lehernya “Laut! hanyutkanlah tubuhku lalu sampaikan kepada Nata!” Alvin melempar kalungnya kearah Laut. Lemparannya hanya sampai ke gundukan karang.

Langkah kakinya berjalan menuju ke tebing karang yang tinggi sambil meraba langkahnya dengan tongkat kayu yang dipegangnya. Berjalan semakin menanjak menuju tebing yang benar-benar tinggi.

*****
      
      Neal sang paman pulang membawa hasil tangkapan ikan Cod dipundaknya. Berharap Alvin juga ikut senang ketika ia pulang dengan bawaannya sekarang.

     “Ini kalung milik Alvin,” kata Neal sehabis melihat kalung Alvin dan menggenggamnya. “Alvin!! Dimana kau?!” Kepanikan Neal menyeruak terhadap Alvin.
    
        Neal berjalan kebingungan mencari Alvin sampai pandangan matanya yang tajam melihat Alvin dari kejauhan sedang berjalan semakin tinggi diatas tebing. Neal cepat berlari menyusul Alvin tanpa berteriak untuk memanggilnya.

       “Alvin!” dengan kelelahan Neal memanggil Alvin yang berada di ujung tebing.

“Neal? Mau apa kau?” tebak Alvin sambil memasang tatapan butanya.

“Natalie?! Kau harus melupakannya, Alvin.” Neal berkata masih kelelahan “Seharusnya kau ikut denganku menangkap ikan Cod.” Neal mengalihkan pembicaraan sambil mendekati Alvin.

Alvin tergelincir di pinggir tebing dan terlepas dari tongkat yang dipegangnya. Dia jatuh.

“Alvin!” Neal berusaha cepat menyambar Alvin. Namun gagal.



Hanya tongkat Alvin yang selamat digenggaman Neal, juga kalung berinisial “N” milik Alvin. Mungkin ini takdir Alvin. Biarlah laut membawanya benar-benar bertemu dengan Natalie di Surga: surga yang sebenarnya, bukan surga Lafoten. Dan ia mampu melihat jelas wajah Natalie di hadapannya. Mungkin juga ikan Cod yang telah lama ingin dilihat dengan matanya.

Jumat, 06 Februari 2015

Jalan Pikiran

Terlalu lama kita menjauh sampai suatu saat tetap ada yang ingin mendekat, harapan.Harapan yang tak tersampaikan. Ia mendekat mendesak tubuh ini yang semakin lemah, dan hanya bisa pasrah.

Sebenarnya, terlalu jauh aku tersesat dalam jalan pikiranmu.
Tak tau harus kearah mana lagi harus melangkah dipersimpangan cinta ini.
Haruskah aku berada dalam lika-liku ini? Membingungkan.
Mengendarai hati dan menghabiskan bahan bakar perasaan.





7 Feb 2015, duduk diantara kawan selagi berpikir kisah percintaan.

Sabtu, 31 Januari 2015

Origami Uyo

Origami Uyo
Cerpen by Adisa Prafitri

“Uyoooo…masih kuraaang Hahahah”

Aku tersentak kaku. Dalam angan yang melayang jauh. Meskipun raga masih enggan beranjak ke dimensi lain namun khayalan telah jauh melesat menembus ruang waktu. Ruang dimana waktu telah memberi arti dan memberi akhir yang hanya mampu dijabarkan oleh airmata dan hati. “Elegi”

“Uyo….ayo buatin lagi, masih kurang banyak nih burung-burungnya. Tuh origaminya ya.. Naya masih butuh 200 lagi nih”

“Waduh!!!” mulut Uyo membulat. Matanya serasa keluar, dan tangannya yang tengah melipat-lipat kertas origami mematung saat itu juga.
“Hahahahahaha” Aku tertawa ngakak.

        Dimensi itu adalah senandung yang sangat aku rindu ketika akhirnya aku hanya bisa mematung di bawah air hujan, dan ditemani dengan beberapa lembar origami yang mulai basah diguyurnya. Hingga akhirnya menjadi bubur-bubur kertas dan terbawa oleh aliran air. Uyoo…maafin Naya ya.

“Yo…itu udah berapa? Istirahat dulu deh yu” Aku kemudian meletakan lembaran kertas warna-warni itu. Ku tarik lelaki yang lemah dan lembut itu untuk berdiri. Dan mengajaknya keluar dari ruang tamu.

“Uyoo…auss laperrrL” Aku kemudian menatapnya sambil pasang muka cemberut.

“Yaaaa makan sonohh!” Uyo berkata dengan ciri khas huruf S nya yang terdengar selalu dibuat lebay. “Syonohh”.

“Ahh..beliin yooo.. Naya nasi padang sama jus jambu yaaaa” Aku pasang nyengir kuda. Dan kemudian ia pergi, kemudian beberapa saat kembali lagi membawa pesananku. “Makasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Uyoooooooo”

        Uyo. Itu dia dahulu sahabatku. Bahkan mungkin lebih dari itu, bahkan seperti kaka, tapi kadang seperti adik, kadang juga seperti Ibu. Dia jarang terlihat seperti Bapak. Karena perangainya yang sungguh seperti keibuan. Padahal ia lelaki. Hahahah. Terkadang aku memanggilnya Emak Uyo. Aku senang memanggilnya Uyo, padahal nama sesungguhnya ialah Andra T. Sutiyoso. Dia baik sangat baik.

        Uyo yang sering mengantarku pulang saat aku tidak ada yang mengantar. Uyo juga selalu mau apabila aku menyuruhnya untuk mengantarku kemana saja. Dan Uyo, selalu menuruti apa saja keinginanku. Salah satunya adalah origami ini, dia rela menghabiskan waktunya 3 hari untuk membuat burung-burung dari origami yang aku inginkan. Dan aku selalu menggodanya. “Uyooo…masih kurang. Hahaha”

        Dan kenangan itu akhirnya menyeruak lagi. Dan seketika itu pula, tubuhku langsung terselimuti oleh perasaan itu. Perasaan yang terus menerus memecah keheningan di dalam otakku. Dan mengedarkannya ke seluruh sistem dalam tubuhku. Hingga aku tersentak kaku. Aku menyesal!

“LO KALO NGOMONG YANG BENER!!!! SEKARANG GUE TANYA SEKALI LAGI. KENAPA LO NGELAKUIN ITU SAMA NAYA?!!! SAHABAT LO SENDIRI!!!”
“Sorry Ren dengerin gue dulu, Iya gue minta maaf tapi Gw ga ada niat buat ngelakuin itu, jadi waktu itu kan guee….”

“BEG!!!” Rendi menonjok bagian pelipis kanan Uyo. “BANYAK BACOT GAK JELAS LO!! UDAH ABISIN AJA”

Hingga semua naik pitam, Gama, Wildan, Zian, dan ke 5 teman cowoku lainnya langsung menyerbu dan membabi buta menghabisi Uyo.
Aku hanya mampu menangis di dalam bahu Hanna. Aku tak menyangka.

Aku jadi teringat kamar, disana ada sekitar 500 burung origami yang telah di buatnya untukku. Yang kini aku jadikan gantungan-gantungan lucu di atas langit-langit kamarku, dan juga tirai hording untuk jendelaku. Dan masih sisa 200 origami yang berisi cerita-cerita kita berdua, yang aku masukan dalam kantung plastik warna hitam. Uyo memang baik sangat baik. Hingga aku berfikir, entah makhluk apa yang telah merasukinya dan membuatnya seperti itu.

“Kenapa?? Kenapa Lo gitu. Gue gapeduli dan gakpernah mau ungkit masalah ini lagi, tapi gue gak bisa terima kenyataan kalo ternyata pelakunya tuh lo. Lo busuk!” Aku mencacinya dalam isak tangis, tak kuat melihatnya berlumuran darah dan entah masih sadar atau tidak. Namun setengah mati aku sangat membencinya saat itu.
“Ma..aff Nay… Maaf!” Dia masih berusaha untuk mejawabku. Meski dengan terbata-bata. Aku sadar tatapannya telah jauh menerawang menuju tepat di manic mataku. Tersirat raut penyesalan di wajahnya yang merah oleh darah. Dan aku menyadari telah jatuh butiran air bening, yang kemudian mengaliri lukanya. Dia menangis.

        Hujan turun semakin deras rupanya. Mungkin langit juga mengerti. Ia tak hentinya berkabut kelabu, tak ada tanda-tanda datangnya awan putih disana. Aku masih menunduk memandangi lembaran-lembaran origamiku yang satu-persatu terbawa arus menjadi bubur-bubur kertas. Origami Uyo.

“Yo…Hape sama Laptop Naya ilang!!!”

“Ya..ampun Nay? Emang Naya taro mana sih? Haduh  kenapa ditinggal sih? Berarti udah diambil ibu-ibu kantin Nay, atau anak yang lain. Aduuuhhh, cepeetan Nayy…badan Uyo gaenak banget sakiiitttt.. Nayy, udah ya Uyo pulang duluan ya, sakiit banget Nay. Sakiiit!!”       

Andra T. Sutiyoso. Dengan segala keluguannya dan segala bentuk lembutnya membuatku tak pernah memandangnya seperti sosok lelaki lain yang harus dijaga jaraknya. Aku melihatnya seperti yang aku telah bilang sebelumnya. Dia lucu, lugu, baik, dan lebay, apalagi kalau bicara dengan huruf S yang dibuat seperti Syy, haha dan dia menyangiku seperti aku menyayanginya, namun dia melakukan itu entah karena apa alasanya benar real, atau manifestasinya belaka.

“Maafff..Nay, Ibu sakit. Uyo gak punya uang buat beli obat. Maaf”

Namun ternyata semua hanya manifestasi yang dibuatnya, Rendi tak habis-habisnya memukuli sampai akhirnya dia benar-benar menceritakan apa yang sebenarnya. Dan dia pasrah. Dia membuka segalanya. Dan itu semua membuat seketika jantungku berhenti berdegup, ia melakukan semua itu, karena saat itu.. “Ia sakau dan butuh obat!!!”

        Basah… Entah karena air mata atau hujan. Intinya menimbulkan satu fakta yang sama. Khayalanku akhirnya kembali ke dimensi yang nyata. Dimensi sebenarnya yang sekian tadi masih ditinggali oleh raga. Aku menatap diriku sendiri. Kemudian menatap tanganku.

        Dua tangan yang kini sudah mulai meronta meminta kehangatan oleh panas mentari. Ia mengeriput. Karena sedari tadi telanjang dan terus diguyur butiran air yang sangat deras. Namun, aku malah menginginkan tangan ini lenyap dari tubuhku. Atau mungkin tubuhku juga. Hilang..agar semua perasaan menyesal ini juga hilang..

 “Nayaaa!!! Lo gila!!! Lo gak pernah salah!! Dia yang salah! Biarin aja orang kaya gitu, biarin dia pergi Nay..Lo harusnya bersyukur dipisahin sama temen yang udah jahat dan pecandu narkoba berat kaya gitu, dan lo jangan kaya gini…” Hanna memeluku. Tangis kami berdua pecah. Elegi…..

        Iya…kini sudah terhitung lebih dari 100 origami terbuang sia-sia olehku, dibawa oleh aliran air hujan. Hahhh, aku masih setia dimandikannya. Padahal tubuhku sudah meronta ingin menyelesaikannya. Biarlah, hujan ini melumuri segala perasaan itu. Perasaan menyesal yang kini jadi bayang keduaku.

“Pernahkah lo ngerasa, bahwa tangan-tangan yang udah menghancurkan tubuhnya itu tangan lo sendiri, lo yang gerakin, meskipun lo gak ngelakuin itu. Itu yang gue rasa, Hann..”

        Masih ada 100 lagi, burung origami yang ada dalam plastik kresek warna hitam. Namun kini hujan hanya tinggal sisa. Gemericiknya tak terdengar gaduh lagi. Mungkin sudah pergi, entah kemana. Sama seperti Uyo, pergi entah kemana. Dimensinya sudah tak mampu dijelaskan dalam fakta nyata. Dunianya juga. Tapi, Uyo baik..sangat baik. Hingga, tak seharusnya satu kesalahan fatal seketika menghapus semua kebaikan yang pernah menyeruak keluar. Aku tau. Aku salah. Dan menyesal.

“Nay..nih Nay. Burung-burung origami ke 437 selesai. Uyo cape ah….Eh, Nay. Nih dengerin uyo. Liat origami ini. Naya harus kaya dia. Dia cerah, berwarna-warni. Meskipun dilipet-lipet kaya apa aja, dia tetep kuat dan gak robek. Gak kaya kertas. Karena dia tau…nantinya dia akan menjadi bentuk yang baru yang lebih indah. Naya juga harus gitu yaJ

        Akhirnya dia datang. Bergerombolan menyeruak masuk dan berbaris rapi diatas langit. Awan putih itu kemudian membawa sekumpulan cahaya yang selalu dinanti sehabis hujan. Pelangi. Warnanya beragam, sama seperti origami. Satu yang aku pelajari, pelangi itu selalu setia menunggu hujan reda…Aku juga akan setia. Menunggu saatnya dimensiku bertemu dengan dimensinya. Kapan yaa…entah mungkin nanti.

Aku berdiri dan berjalan gontai menuju entah kemana. Tubuhku telah lepek dan basah. Sama seperti Bumi. Sisa origami dalam plastik kresek hitam itu kutinggal ditempat dudukku tadi. Biar saja nanti ia terbang, dan menyampaikan isi dari setiap cerita dalam goresan-goresan tinta di tubuh putih belakangnya. Untuk dia disana. Yang telah membuat burung-burung origami ini. Semoga ia berada dalam tempat terindah disisiNya….


“Uyoooo….masihh kurang!!! Hahaha”

Jumat, 30 Januari 2015

Change Of Life

Sebelumnya, tau arti judul diatas? Kalo belum tau mendingan cari tau dulu deh. Untung gue baik, jadi gue kasih tau nih. Daripada nanti lo malah gak jadi baca..

Gue tadi translate artinya Perubahan Hidup. Enjoy read :)

Setiap manusia memiliki perubahan disetiap hidupnya, dari segi apapun, termasuk fisik. Lebih bagus jika perubahan hidupnya berkembang.  Ada orang yang dulunya cakep sekarang jadi tambah cakep, ada yang dulunya jelek sekarang jadi cakep, ada lagi yang dulunya jelek sekarang bertambah massa kejelekannya (yang ini bukan bagian dari perkembangan, tapi merupakan penurunan).

Asalkan lo tau, belum lama ini gue mengalami perkembangan dan penurunan secara bersamaan. Jerawat gue...

Kenapa jerawat lo, Put?

Perkembangannya
Wajah gue terlihat lebih manis dari biasanya. Hitam mengkilat jika terpantul cahaya matahari bagai manusia berkepala mutiara hitam gitu. Gue yakin kalo cewek-cewek yang suka pencitraan share foto perhiasannya di akun istagramnya pasti bakalan berpikiran buat nge-share foto kita berdua juga. Setara sama apa yang sering dia share. Gue pun yakin gak akan ada komen BOT yang masuk selagi foto kita terpampang disitu. Jadi kan gak risih. Ada yang minat?

Satu lagi, gue jadi gak ragu buat sok-sokan baby face didepan bayi yang lain.
*buktinya bayi ini tetap tertidur pulas walau ada gue disisinya.
pasti mimpinya indah sekali.
Bayi ini bernama Zumroni

Penurunannya
Tingkat jumlah jerawat gue menurun setiap harinya. Jika dalam manage keuangan negara, ini adalah kerugian besar.

Berkurangnya jumlah manusia yang mencoba berdosa untuk ngatain gue. Tapi bete juga, gue jadi nggak ada tekanan hidup kalo gak dikatain.

Alhamdulillah hidup gue mengalami perubahan, bagaimana dengan hidup lo?

Hidup gue gak ada perubahan deh, Put...

Gampang kok cara mengetahui perubahan hidup lo. Tinggal setiap hari aja itungin jerawat yang ada, trus riset hasil jerawat lo setiap harinya, berkurang atau bertambah. Kalo gini caranya pasti deh ada perubahan dihidup lo. Simple...


Dan, tinggal yakin aja pasti akan ada perubahan yang terjadi pada hidup lo. Skenario Tuhan buat memberikan kehidupan pada setiap manusia ciptaannya pasti akan memiliki ceritanya tersendiri dalam menghadapi perubahan di hidupnya kok.

Kamis, 22 Januari 2015

Sekolah Pagi Ini

Hujan dari jam 01.00 malem sampai pagi ini. Hanya sisa gerimis-gerimis disaat temen-temen sebaya melangkahkan kakinya berangkat ke sekolah mengenakan jaket tebal dari rumahnya sampai ke dalam kelasnya masing-masing.

Berangkat sekolah agak canggung. Dingin, becek, basah, lemes, pokoknya nggak ada hawa yang bikin semangat sekolah dipagi ini.

Rasanya tuh... pengen nulis puisi.


Angin Penghianat

Dulu kita bersahabat, saat dia menjadi angin AC,
Dingin ini bagai penghianat,
Menusuk, bukan hanya dari belakang,
Namun, menusuk seluruh badan,
Hanya jaket bak perisai yang melindungi tubuh ini.

Nulis sebait aja deh. Bagus kan?

Banyak yang mengganggu kegiatan belajar mengajar setiap siswa dikelas:
- On data internet
- Wifi sekolah
- Gadget
- Option pertama dan kedua dan ketiga tadi maksudnya sama
- Dinginnya bikin pilek
- Kalo yang tinggal di dataran tinggi pasti sekolahnya berkabut
- Ngerjain PR di sekolah, karena hujan deras semalam mengganggu konsentrasi buat ngerjain PR
- Kehadiran guru
- Gue justru sekarang buka laptop dan ngetik ini, disekolah bukannya belajar malah nge-blog. Jangan dicontoh.

Ada yang hari ini semangat ke sekolah? Gimana caranya? Paling kalian semangat karena satu alasan: dapat uang saku.

Minggu, 04 Januari 2015

Aku berada di...

Sungguh, aku amat tak ingin semua ini terjadi.
Ku terus berharap bahwa kenyataan ini bukan tragedi.
Rasa ini hanya membuatku termenung daritadi.
Ini semua mengganggu pikiran dan sendi-sendi.
Dan kalian harus sadar semua bait ini belakangnya “di”.
Ohiya aku harus mandi.
Tunggu, aku lagi mikirin kata-kata yang belakangnya “di”.
Supaya kalimat lanjutannya tetap belakangnya “di”.
Kamu tau lanjutannya, Di?
Semoga aja nama kamu Budi.
Yaudahlah, Do re mi fa sol la si di.
Eh, jangan pukul aku dengan sapu lidi.
Percayalah, bahwa aku bukanlah penjudi.
Baiklah, jika kamu membutuhkanku aku berada di...
Arab saudi.
Panen buah kuldi.
Tapi sayang, tidak jadi.