Origami Uyo
“Uyoooo…masih kuraaang Hahahah”
Aku tersentak kaku. Dalam angan yang melayang
jauh. Meskipun raga masih enggan beranjak ke dimensi lain namun khayalan telah
jauh melesat menembus ruang waktu. Ruang dimana waktu telah memberi arti dan memberi
akhir yang hanya mampu dijabarkan oleh airmata dan hati. “Elegi”
“Uyo….ayo buatin lagi, masih kurang banyak nih burung-burungnya. Tuh
origaminya ya.. Naya masih butuh 200 lagi nih”
“Waduh!!!” mulut Uyo membulat. Matanya serasa keluar, dan tangannya
yang tengah melipat-lipat kertas origami mematung saat itu juga.
“Hahahahahaha” Aku tertawa ngakak.
Dimensi itu adalah
senandung yang sangat aku rindu ketika akhirnya aku hanya bisa mematung di
bawah air hujan, dan ditemani dengan beberapa lembar origami yang mulai basah
diguyurnya. Hingga akhirnya menjadi bubur-bubur kertas dan terbawa oleh aliran air.
Uyoo…maafin Naya ya.
“Yo…itu udah berapa? Istirahat dulu deh yu” Aku kemudian meletakan
lembaran kertas warna-warni itu. Ku tarik lelaki yang lemah dan lembut itu
untuk berdiri. Dan mengajaknya keluar dari ruang tamu.
“Uyoo…auss laperrrL” Aku kemudian menatapnya sambil pasang muka cemberut.
“Yaaaa makan sonohh!” Uyo berkata dengan ciri khas huruf S nya yang
terdengar selalu dibuat lebay. “Syonohh”.
“Ahh..beliin yooo.. Naya nasi padang sama jus jambu yaaaa” Aku pasang
nyengir kuda. Dan kemudian ia pergi, kemudian beberapa saat kembali lagi
membawa pesananku. “Makasiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Uyoooooooo”
Uyo. Itu dia dahulu
sahabatku. Bahkan mungkin lebih dari itu, bahkan seperti kaka, tapi kadang
seperti adik, kadang juga seperti Ibu. Dia jarang terlihat seperti Bapak.
Karena perangainya yang sungguh seperti keibuan. Padahal ia lelaki. Hahahah.
Terkadang aku memanggilnya Emak Uyo. Aku senang memanggilnya Uyo, padahal nama
sesungguhnya ialah Andra T. Sutiyoso. Dia baik sangat baik.
Uyo yang sering
mengantarku pulang saat aku tidak ada yang mengantar. Uyo juga selalu mau
apabila aku menyuruhnya untuk mengantarku kemana saja. Dan Uyo, selalu menuruti
apa saja keinginanku. Salah satunya adalah origami ini, dia rela menghabiskan
waktunya 3 hari untuk membuat burung-burung dari origami yang aku inginkan. Dan
aku selalu menggodanya. “Uyooo…masih kurang. Hahaha”
Dan kenangan itu akhirnya
menyeruak lagi. Dan seketika itu pula, tubuhku langsung terselimuti oleh
perasaan itu. Perasaan yang terus menerus memecah keheningan di dalam otakku.
Dan mengedarkannya ke seluruh sistem dalam tubuhku. Hingga aku tersentak kaku.
Aku menyesal!
“LO KALO NGOMONG YANG BENER!!!! SEKARANG GUE TANYA SEKALI LAGI. KENAPA
LO NGELAKUIN ITU SAMA NAYA?!!! SAHABAT LO SENDIRI!!!”
“Sorry Ren dengerin gue dulu, Iya gue minta maaf tapi Gw ga ada niat
buat ngelakuin itu, jadi waktu itu kan guee….”
“BEG!!!” Rendi menonjok bagian pelipis kanan Uyo. “BANYAK BACOT GAK
JELAS LO!! UDAH ABISIN AJA”
Hingga semua naik pitam, Gama, Wildan, Zian, dan ke 5 teman cowoku
lainnya langsung menyerbu dan membabi buta menghabisi Uyo.
Aku hanya mampu menangis di dalam bahu Hanna. Aku tak menyangka.
Aku jadi teringat kamar, disana ada sekitar 500
burung origami yang telah di buatnya untukku. Yang kini aku jadikan
gantungan-gantungan lucu di atas langit-langit kamarku, dan juga tirai hording
untuk jendelaku. Dan masih sisa 200 origami yang berisi cerita-cerita kita
berdua, yang aku masukan dalam kantung plastik warna hitam. Uyo memang baik
sangat baik. Hingga aku berfikir, entah makhluk apa yang telah merasukinya dan
membuatnya seperti itu.
“Kenapa?? Kenapa Lo gitu. Gue gapeduli dan gakpernah mau ungkit masalah
ini lagi, tapi gue gak bisa terima kenyataan kalo ternyata pelakunya tuh lo. Lo
busuk!” Aku mencacinya dalam isak tangis, tak kuat melihatnya berlumuran darah
dan entah masih sadar atau tidak. Namun setengah mati aku sangat membencinya
saat itu.
“Ma..aff Nay… Maaf!” Dia masih berusaha untuk mejawabku. Meski dengan
terbata-bata. Aku sadar tatapannya telah jauh menerawang menuju tepat di manic
mataku. Tersirat raut penyesalan di wajahnya yang merah oleh darah. Dan aku
menyadari telah jatuh butiran air bening, yang kemudian mengaliri lukanya. Dia
menangis.
Hujan turun semakin deras
rupanya. Mungkin langit juga mengerti. Ia tak hentinya berkabut kelabu, tak ada
tanda-tanda datangnya awan putih disana. Aku masih menunduk memandangi
lembaran-lembaran origamiku yang satu-persatu terbawa arus menjadi bubur-bubur
kertas. Origami Uyo.
“Yo…Hape sama Laptop Naya ilang!!!”
“Ya..ampun Nay? Emang Naya taro mana sih? Haduh kenapa ditinggal sih? Berarti udah diambil
ibu-ibu kantin Nay, atau anak yang lain. Aduuuhhh, cepeetan Nayy…badan Uyo
gaenak banget sakiiitttt.. Nayy, udah ya Uyo pulang duluan ya, sakiit banget
Nay. Sakiiit!!”
Andra T. Sutiyoso. Dengan segala keluguannya dan
segala bentuk lembutnya membuatku tak pernah memandangnya seperti sosok lelaki
lain yang harus dijaga jaraknya. Aku melihatnya seperti yang aku telah bilang
sebelumnya. Dia lucu, lugu, baik, dan lebay, apalagi kalau bicara dengan huruf
S yang dibuat seperti Syy, haha dan dia menyangiku seperti aku menyayanginya,
namun dia melakukan itu entah karena apa alasanya benar real, atau
manifestasinya belaka.
“Maafff..Nay, Ibu sakit. Uyo gak punya uang buat beli obat. Maaf”
Namun ternyata semua hanya manifestasi yang
dibuatnya, Rendi tak habis-habisnya memukuli sampai akhirnya dia benar-benar
menceritakan apa yang sebenarnya. Dan dia pasrah. Dia membuka segalanya. Dan
itu semua membuat seketika jantungku berhenti berdegup, ia melakukan semua itu,
karena saat itu.. “Ia sakau dan butuh obat!!!”
Basah… Entah karena air
mata atau hujan. Intinya menimbulkan satu fakta yang sama. Khayalanku akhirnya
kembali ke dimensi yang nyata. Dimensi sebenarnya yang sekian tadi masih
ditinggali oleh raga. Aku menatap diriku sendiri. Kemudian menatap tanganku.
Dua tangan yang kini sudah
mulai meronta meminta kehangatan oleh panas mentari. Ia mengeriput. Karena
sedari tadi telanjang dan terus diguyur butiran air yang sangat deras. Namun,
aku malah menginginkan tangan ini lenyap dari tubuhku. Atau mungkin tubuhku
juga. Hilang..agar semua perasaan menyesal ini juga hilang..
“Nayaaa!!!
Lo gila!!! Lo gak pernah salah!! Dia yang salah! Biarin aja orang kaya gitu,
biarin dia pergi Nay..Lo harusnya bersyukur dipisahin sama temen yang udah
jahat dan pecandu narkoba berat kaya gitu, dan lo jangan kaya gini…” Hanna
memeluku. Tangis kami berdua pecah. Elegi…..
Iya…kini sudah terhitung
lebih dari 100 origami terbuang sia-sia olehku, dibawa oleh aliran air hujan.
Hahhh, aku masih setia dimandikannya. Padahal tubuhku sudah meronta ingin
menyelesaikannya. Biarlah, hujan ini melumuri segala perasaan itu. Perasaan menyesal
yang kini jadi bayang keduaku.
“Pernahkah lo ngerasa, bahwa tangan-tangan yang
udah menghancurkan tubuhnya itu tangan lo sendiri, lo yang gerakin, meskipun lo
gak ngelakuin itu. Itu yang gue rasa, Hann..”
Masih ada 100 lagi, burung
origami yang ada dalam plastik kresek warna hitam. Namun kini hujan hanya
tinggal sisa. Gemericiknya tak terdengar gaduh lagi. Mungkin sudah pergi, entah
kemana. Sama seperti Uyo, pergi entah kemana. Dimensinya sudah tak mampu
dijelaskan dalam fakta nyata. Dunianya juga. Tapi, Uyo baik..sangat baik.
Hingga, tak seharusnya satu kesalahan fatal seketika menghapus semua kebaikan
yang pernah menyeruak keluar. Aku tau. Aku salah. Dan menyesal.
“Nay..nih Nay. Burung-burung origami ke 437 selesai. Uyo cape ah….Eh,
Nay. Nih dengerin uyo. Liat origami ini. Naya harus kaya dia. Dia cerah,
berwarna-warni. Meskipun dilipet-lipet kaya apa aja, dia tetep kuat dan gak
robek. Gak kaya kertas. Karena dia tau…nantinya dia akan menjadi bentuk yang
baru yang lebih indah. Naya juga harus gitu yaJ”
Akhirnya dia datang.
Bergerombolan menyeruak masuk dan berbaris rapi diatas langit. Awan putih itu
kemudian membawa sekumpulan cahaya yang selalu dinanti sehabis hujan. Pelangi.
Warnanya beragam, sama seperti origami. Satu yang aku pelajari, pelangi itu
selalu setia menunggu hujan reda…Aku juga akan setia. Menunggu saatnya
dimensiku bertemu dengan dimensinya. Kapan yaa…entah mungkin nanti.
Aku berdiri dan berjalan gontai menuju entah
kemana. Tubuhku telah lepek dan basah. Sama seperti Bumi. Sisa origami dalam
plastik kresek hitam itu kutinggal ditempat dudukku tadi. Biar saja nanti ia
terbang, dan menyampaikan isi dari setiap cerita dalam goresan-goresan tinta di
tubuh putih belakangnya. Untuk dia disana. Yang telah membuat burung-burung
origami ini. Semoga ia berada dalam tempat terindah disisiNya….
“Uyoooo….masihh kurang!!! Hahaha”